“Alkisah seorang
pemuda sakti bernama Joko Bandung (Bandung Bondowoso) berhasrat mempersunting
seorang perempuan cantik bernama Roro Jonggrang. Nampaknya cinta Joko Bandung
bertepuk sebelah tangan. Namun tidak serta merta Roro Jonggrang berani menolak
cinta tersebut mengingat Joko Bandung adalah anak Prabu Damar Moyo, raja
kerajaan Pengging. Jatuhlah taktik Roro Jonggrang untuk menggagalkan niatan
Joko Bandung untuk memperistrinya dengan memberi syarat agar Joko Bandung
membangunkan untuk dirinya seribu candi dalam waktu semalam dan harus selesai
sebelum ayam jantan berkokok di pagi hari. Upaya Joko Bandung dalam membangun
seribu candi dalam semalam pun akan berhasil, namun lagi-lagi Roro Jonggrang
bukanlah wanita lugu, ia mempunyai segala macam cara hingga akibat kelicikannya
gagallah upaya Joko Bandung. Akhirnya, dikutuklah Roro Jonggrang hingga menjadi
patung/batu.”
Politik kekuasaan akhir-akhir ini menjadi incaran hampir seluruh elemen bangsa. Ia ibaratkan Roro Jonggrang nan molek dan cantik rupa. Betapa tidak, dengan kekuasaan semua akan bisa diraih. bahkan jika diibaratkan Tuhan pun tidak akan bisa berbuat banyak kepada para penguasa. Semua bisa diatur, dikendalikan, sesuai dengan keinginan masing-masing. Di tangan penguasa kebenaran mampu diolah menjadi hal yang menjijikkan dan kejahatan serta para premannya dapat disulap menjadi amal yang mulia dengan para pahlawannya.
keseksian inilah yang menyulut hasrat berkuasa seluruh elemen bangsa, tak terkecuali kaum santri. Dengan dalih bahwa setelah berkuasa ia akan mendatangkan kesejahteraan bagi semua. Tidak hanya manusia, pohon, air, tanah, udara bahkan setan, demit, genderuwo, kuntilanak, dan lain sebagainya akan sejahtera karena yang berkuasa membawa kunci rahmatan lil alamin. Bukan berarti kaum santri tidak boleh ngomong politik, tidak boleh berkuasa, bukan-bukan itu. Karena jika jalan santri ia tempuh, dan sampai pada makomnya dia pasti akan mendapatkan amanahnya. Baik itu tampuk kepemimpinan formal dengan jengkol-jengkol yang bergelayutan disekujur tubuh ataupun kepemimpinan yang lebih substansial dari itu.
Bukan masalah berkuasanya, masalahnya adalah HASRAT BERKUASA. Kaum santri ibaratkan Joko Bandung yang tidak hanya ganteng, cakap, cekatan, tapi juga sakti mandraguna. Tapi jangan lupa bahwa POLITIK KEKUASAAN ibaratkan Roro Jonggrang yang molek, ayu, menggairahkan, terlihat lugu namun penuh dengan tipu-tipu. Terlalu sayang jika sang santri harus mengeluarkan seluruh kesaktiannya hanya untuk memperebutkan "Roro Jonggrang" yang segera keriput lima tahun berikutnya. Dalam keadaan itu pula, Roro Jonggrang selalu meminta pengorbanan yang lebih kepada para santri, sangat sering para santri diminta untuk melakukan maaf-lomba onani- bersama dihadapan publik untuk menunjukkan siapa yang paling perkasa dengan iming-iming yang paling lama dialah yang berhak meminang sang Roro.
Tapi jangan lupa, Roro Jonggrang adalah tetap Roro Jonggrang, dia akan menelikung sang santri yang perkasa dan sakti mandraguna itu sebelum ia mencapai puncak kenikmatan orgasme. Dan inilah yang paling berbahaya. Terlalu bayak kibasan angin sepoi yang semu ditiupkan kepada kaum santri. Hingga seolah terasa hawa sejuk yang menentramkan hati dan menimbulkan harapan. Dengan itu pula para santri berlomba untuk saling maju kedepan dengan menunjukkan kesaktian dengan meninggalkan begitu saja para begawan mereka tanpa meminta restu.
Memang pada akhirnya Roro Jonggrang pasti akan mendapat kutukan. Akan tetapi kutukan akan berhenti pada sejarah kutukan hingga orang tidak tertarik lagi untuk mendengar kisahnya. Namun kekecewaan, sakit hati, dan amarah akibat dari tipuan fatamorgana akan selalu terbawa hingga selamanya meski orang lain tidak pernah tertarik untuk membahas ataupun sekedar mendengar cerita. Ia akan menjadi sekam dalam jiwa yang pada gilirannya akan menjadi bahan cemoohan sang Tuhan dan para Malaikatnya di hari yang tidak pernah berakhir itu. Semoga kita semua menjadi Joko-Joko Bandung yang lebih memilih bidadari daripada sekedar Roro Jonggrang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar