Anak adalah buah
hati yang diidamkan kehadirannya bagi setiap keluarga. Ia merupakan anugerah
sekaligus titipan Ilahi yg harus Kita jaga. Tangisannya akibat kelalaian orang
tua akan menggoncangkan isi penduduk langit. Begitu sebaliknya senyum
kebahagiaannya juga akan mendatangkan puji pujian masyarakat langit. Itulah keistimewaan
anak dihadapan orang tuanya.
Namun
sayang, sifat manusia yang pelupa sangat mudah melalaikan anugerah itu.
Kesibukan duniawi para orang tua menjadi katalis atas terlupanya nikmat
takterkira atas kehadiran buah hati yg Kita panjatkan siang dan malam kepadaNya.
Terlepas dalih bahwa kesibukan itu tak lain dan tak bukan untuk kebahagiaan duniawi
sang anak.
Saking
sibuknya kedua orang tua, mereka sampai lupa asupan asupan non material yg justru
lebih dibutuhkan oleh sang anak. Dalam merawat anak
sehari-hari, orang tua lebih mempercayakan kepada orang lain/asisten rumah
tangga. Meskipun hanya bergelar asisten, tak jarang pada kenyataannya asisten
rumah tangga itu malah menjadi orang tua yang sebenarnya dalam konteks asisten
rumah tangga yang baik, bahkan anak ketika masih kecil dibawah asuhan sang
asisten lebih suka tidur bareng atau bahkan ikut menginap dirumahnya. Parahnya,
dalam keadaan seperti itu, ayah bundanya tidak merasa sedih bahkan malah
bersyukur karena dapat asisten rumah tangga yang baik. Tidak perlu diungkap
disini jika asisten rumah tangga tersebut jahat, nyata jelas anak menjadi
korban.
Dalam keadaan
yang lain, agar tidak mengganggu istirahat ayah bundanya, anak lebih
dipasrahkan kepada gadget. Dengan dalih permainan gadget dapat melatih
kecerdasan anak, apalagi diinstal aplikasi-aplikasi edukatif. Tidak jarang juga anak yang mulai sibuk dengan
pengetahuan dunia dengan banyak bertanya dan diulang-ulang justru mendapat
semprotan orang tua dengan alasan “kan udah dibilangin berkali-kali”. Atau
bahkan orang tua dengan sangat tega mem-pingpong anak, “sana Tanya ke papa,
giliran sampai ke papa, oh itu nenek lebih tahu, datang ke nenek, wah nenek
lagi sibuk”..orang tua berperan tak ubahnya seperti birokrat feodal yang tidak
rela jika sebuah pekerjaan segera terselesaikan.
Banyak
diantara kita orang tua merasa telah memenuhi tugasnya dalam merawat anak saat
sang anak terlihat gemuk, bersih, rapi, wangi, berpakaian ala model dewasa dan
terkesan modern. Disisi lain banyak ruang-ruang penting dan strategis anak yang
sehaarusnya diisi oleh orang tua justru terabaikan. Ada jarak yang sangat lebar
antara anak dan orang tua, lebih parahnya orang tua melakukan simplifikasi
dengan membuat jembatan es krim. Dengan satu kotak es krim orang tua merasa
sudah mampu menaklukkan sang anak. Padahal sebenarnya anak tidak butuh es krim
itu, jikapun anak merengek untuk dibelikan es krim itu adalah salah satu upaya
anak berdialektika dengan orang tuanya yang sangat sibuk itu. Sehingga tidak
perlu semua keinginan dipenuhi, perlu ada sebuah “perdebatan” antara orang tua
dan anak.
Terkadang orang tua harus memfasilitasi namun juga terkadang anak
harus mengalah meskipun beresiko terjadinya kegaduhan sementara Dan itu
sebenarnya yang anak butuhkan untuk mengisi kekosongan psikis dalam dirinya. Anak
sebenarnya ingin kenyang nasehat kebaikan dan pembelajaran budi pekerti yang
baik. Oleh karenanya ketika ia masih kecil sering melakukan perbuatan yang
memancing emosi orang tuanya dan bahkan mungkin berulang, karena anak rindu
belaian kasih sayang dan lapar nasehat, bukan es krim yang menenangkannya.
Penerapan teori jembatan es krim sebenarnya akan menjadi Sandra bagi orang tua
ketika anak kelak dewasa. Anak akan menggunakan senjata “Es Krim” untuk
menyandra orang tuanya. Ketika anak gagal dalam pendidikan, dia akan dengan
mudah bilang “salahnya papa sih ga mau kasih fasilitas ini dan itu”. Dalam
tingkatan yang lebih tinggi, saat anak melakukan tindak kriminal beratpun akan
dengan mudah menyasar orang tuanya sebagai biang kerok karena tidak mampu
memberikan apa yang diinginkan. Jika sudah seperti ini maka nasi sudah menjadi
bubur.
Jika
mengambil pendapat Rousseau, ia menyatakan bahwa sejak bayi lahir ia sudah di bekali
oleh rasa keadilan dan moralitas, serta perasaan dan pikiran. Oleh karena itu
setiap orang tua perlu berhati-hati dalam merawat dan membesarkan putra putri
tercinta. Karena sebenarnya sejak bayi pun anak sudah mempunyai perangkat yang
komplit dalam menerima perlakuan orang tua nya yang pada gilirannya mereka akan
menentukan sikap dalam berinteraksi dengan orang tuanya kelak ketika ia
menginjak masa remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar