Lek Siti (2)

“tek…tek…tek…” suara rembesan air dari genteng tepat mengenai sisi dalam lubang ember hitam yang dipasang. Malam itu hujan secara spontan dan deras mengguyur kampung randu tempat lek siti menetap. Tanpa ada persiapan, rumah sangat sederhana dengan genteng keripiknya itu harus menghadang curah air yang cukup keras. Walhasil, genteng tidak mampu menahan derasnya dan bocorpun disana sini.

Tidak seperti musim-musim sebelumnya, setiap perpindahan musim pasti ada tanda-tanda perubahan seperti mendung atau gerimis untuk beberapa kali sebagai warming up, juga untuk mengabarkan kepada manusia bahwa musim telah berganti dan babak baru akan segera dimulai. Musim hujan kali ini langsung dan to the point. Langsung deras, langsung tanpa henti dan langsung petir sambar menyambar. Entah apa yang menyebabkannya. Ataukah bumi sudah semakin tua hingga ia lupa dengan jadwal dan protokoler musim pada setiap tahunnya. Atau ia sedang memprotes atas perilaku segolongan umat yang menghuni diatasnya.

Benar juga kata Ronggo Warsito. Iki sing dadi tandane zaman kolobendu (Ini yang menjadi tanda zaman kehancuran), Zaman kalabendu iku wiwit yen (Zaman ini ditandai dengan), Wong nemoni wolak-walik ing zaman (Manusia menemukan jaman yang terbolak-balik). Zaman memang terbalik, siangnya menjadi gelap (lantaran kita beraktifitas didalam ruangan), dan malamnya menjadi terang (lantaran jalan-jalan penuh dengan penerangan dan kita lebih suka untuk keluar meski sekedar nongkrong pada saat-saat ini). Zaman memang terbalik, jika beberapa saat yang lalu semua orang enggan keluar pada malam hari lantaran ada kuntilanak mengintai. Sekarang sebagian orang (kecenderungannya banyak) justru memburu para “anak kuntil” dan mereka pun rela meskipun harus mengintai.

Zaman yang kewalik inilah yang membuat beban lek siti semakin berat. Mlumah saja ia sudah merasa berat, apa lagi kalo harus Mengkurep. Beban yang semakin menyesakkan. Derasnya air hujan dan kerasnya terpaan anging yang menembus “ventilasi” rumah tidak membuat Lek Siti menggigil kedinginan. Fikiran terus mengiang-ngiang dan berputar mengimbangi besaran tenaga yang telah terkuras akibat kerja nonstop mengurusi pernik rumah tangga dari pagi sampai sore bahkan mungkin malam nanti yang kian larut. Sambil manggut-manggut Lek siti bergumam “inilah saatnya…semua harus diselesaikan sekarang”. “Aku tidak peduli apapapun yang akan menimpaku nantinya misalkan mas karyo tidak berkenan”, batin Lek siti sambil menguatkan motivasinya untuk menyelesaikan wolak-walik ing zaman dengan Mas Karyo.

Mas Karyo saat ini sedang dirumah, seolah hujan telah sengaja mengurungnya di rumah kecil yang sangat jarang ia singgahi ini. Ia lebih suka tidur di cakruk deket kuburan dari pada sekedar bercengkrama dengan Hakim yang sudah mulai merasa sangat kehilangan dengan ketiadaan kedua orang tua di masa puber-nya. Seperti biasa, sambil menghisap rokok samsu kreteknya, Mas karyo duduk dikursi disamping meja rotan tempat cemilan “wajib” nya. Tapi malam ini Mas Karyo lebih banyak diam, entah apa yang menyebabkan ia mau diam untuk berpikir. Entah tentang apa juga yang mas karyo fikirkan tidak ada manusia yang mengetahuinya. Termasuk lek siti yang telah lama memperhatikan sikap anehnya malam ini sambil menunggu waktu yang tepat untuk berbicara kepada orang “aneh” dan susah ditebak.

“Uhuk..uhuk, tampaknya mas karyo tersedak asap rokok yang dihirupnya. “Ono opo mas, kok batuk-batuk? Tukas lek siti sambil basa-basi agar bisa ngobrol sama suaminya. Mas Karyo masih diam, seolah tidak merespon lek siti. Dan memang pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban Karena memang sudah jelas karena dia batuk akibat ngisap terlalu dalam. Sambil mendekat perlahan lek siti menghampiri suaminya yang tetap membatu seolah menikmati asap rokonya. Sembari merapikan gelas, plastik dan asbak yang terserak tidak rapi diatas meja lek siti pun mengambil posisi duduk disamping kanan mas karyo. Untuk beberpa saat kondisi tetap diam, hanya suara rintikan hujan yang semakin mereda. Kedua anak mereka telah tertidur pulas. Lek siti tetap bertahan untuk diam, karena dia pasti akan selalu salah bila memulai pembicaraan.

“Srruup, hmm….”, sruputan Mas Karyo menikmati kopi kental manisnya. Suasana masih membisu. Tampak diraut muka Mas Karyo sebuah tampilan menunjukkan adanya beban yang sedang difikirkan. Tidak tahan juga dengan sikap diam mas karyo, lek siti akhirnya harus membuka komunikasi. “Kamu kenapa to Mas, masuk angin po?? Apa minta dikerokin?”naluri cinta lek siti-pun berbicara. “Ora Usah, aku ga kenapa-kenapa”, jawabnya singkat. “Tapi ko sikapnya Mas ga seperti biasanya, memangnya ada apa?”, “Ato panjenegan masih tersinggung masalah usulanku tentang pelihara sapi itu?”. “Kalo gitu aku minta maaf, ga usah difikirkan. Wong Cuma usul ga serius kok”. Hibur lek siti ke mas karyo.

“Hehh…,” Mas Karyo mendesah panjang. “Ti, tadi sore aku ketemu sama Budhe Sam”. Lek Siti agak terkejut, setengah takut, tapi ia buru-buru menguasai diri dan keadaan. Seolah tidak faham dengan arah pembicaraan, Lek Siti pun bertantanya, “ memangnya Budhe bilang apa?, panjenengan mau diajak mroyek lagi apa?”. “iya Budhe sempat ngobrol sama aku, tapi bukan masalah proyek”. “tapi beliau bilang kalo kamu mau ke Malaysia lagi, apa benar ti?” untuk sesaat lek siti bungkam bingung akan menjawab. Disatu sisi dia adalah orang yang sangat setia dan lebih suka bercengkrama bersama keluarga. Disisi lain, ia sangat sadar jika suaminya memiliki kesadaran financial yang sangat rendah sehingga mau tidak mau dia harus menjadi penopang utama. Cinta adalah cinta di satu sisi, dan dunia adalah dunia dengan segala kebutuhan pokok juga keinginan-keinginan.

“Mas, aku sebelumnya minta maaf sedalam-dalamnya masalah ini. Karena sebelumnya tidak mendiskusikan dengan panjenengan”. “Iya mas, saya tiga hari lagi harus berangkat ke Malaysia”. “saya juga ngga tau ko jadi secepat ini, soalnya baru tiga hari lalu saya tanya sama Pak Edi”. “bukan apa-apa mas, bukan juga aku ngga tahan hidup miskin”. “dari kecil aku sudah biasa hidup sederhana meski bapak punya sawah yang luas, tapi memang sekarang ini adalah satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh apalagi habis harga BBM naik, meski sudah lama. Kemarin pak Rt juga sudah bagi-bagi kompor gas konversi yang katanya pake gas jika ditotal harganya lebih murah dari minyak tanah, tapi kalo minyak bener-bener dicabut dalam waktu deket, orang-orang seperti kita sudah tidak bisa ngeteng lagi dua ribu ato lima ribu. Kalo tidak pakai jalan ini kita tidak bias apa-apalagi meski sekedar makan”.

“Aku sebenarnya juga tidak nyalahin panjenengan, waktu itu baru emosi saja, aku yakin semua itu sudah diatur sama yang kuasa”. “Mas, dari awal aku selalu ingat janji setia kita. Dari awal aku juga sudah tau banyak perbedaan diantara kita. Tapi mas, aku mau menikah dulu dasarnya adalah cinta bukan yang lain. Ya, aku selalu mencintaimu sampai kapanpun dalam kondisi kita seperti apapun, aku ingin bahtera rumah tangga kita tetap bisa berjalan meski penuh dengan cobaan” suara lek siti tertahan, seluruh dada menjadi sesak. Kata-kata ketulusan cinta akhirnya terlontar dari mulut Lek Siti. Suasana menjadi haru, tidak hanya Lek Siti. Mas Karyo juga mulai sesenggukan mendengar perkataan tulus dari istrinya. Mas karyo mulai menyadari betapa lemahnya dia, bersembunyi dibalik ketulusan cinta seorang Siti yang mulai terjangkit rematik untuk memperjuangkan kelanggengan bahtera cintanya! Kedua-duanya tidak mau dan tidak mampu menahan kesedihan alur kisah cintanya yang telah dilalui belasan tahun. Mereka saling berpelukan menghilangkan semua duka, dan hanya ini yang bisa dilakukan.

“Maafkan aku ti, akulah yang paling bersalah. Aku sungguh tidak berguna”,”aku juga mencintaimu ti, sangat mencintaimu”, sambil terbata-bata Mas Karyo mengakui kesalahan terhadap istrinya. “ Lek Siti mendekap semakin erat suami yang ia cintai, air mata semakin deras tertumpah, ia tidak mampu lagi menahan suara isak tangisnya. “aku tidak menyalahkanmu mas, aku tidak menyalahkanmu….” “ini juga takdir dari yang kuasa, tapi aku yakin kita pasti bisa melalui nya”. “Baiklah mulai besok aku akan berusaha, apapun akan aku lakukan”. Janji mas karyo ke lek siti.

Tek..tek..tek.. suara titik air hujan yang menimpa ember masih terdengar meski dengan intensitas yang menurun. Malam, yang sangat indah bagi Lek Siti. Sebuah kebahagiaan yang lebih dari apapun setelah menabur ketulusan cinta bertahun-tahun. Ketulusan yang tidak memintakan imbalan dan tidak terbataskan oleh waktu.

Tapi walau bagaimanapun, lek siti tetap harus berangkat ke Malaysia. Kontrak telah ditandatangani, ia tidak sanggup membatalkannya apalagi dengan ganti rugi yang puluhan juta itu.

################################

Lek Siti (1)

“Oalah Budhe..saya dirumah malah jadi ga betah. Mending aku balik lagi aja ke Malaysia”, ujar lek siti sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran lincak yang sudah reot di beranda rumahnya. “Lha kamu itu gimana, katanya disana kerja penghasilannya pas-pasan ga jauh beda sama kerja dirumah, belum lagi kalo diperas disana-sini. Kemarin baru ngeluh gitu ko sekarang dah ngomongnya gini?”. Sanggah budhe sam sembari memunculkan memori kekecewaannya kerja di Negara tetangga yang makin hari makin banyak masalah.

Malaysia, Negara sebrang laut itu makin lama making ga jelas, orang bilang gejala kehilangan jati diri. Desain batik Indonesia dijiplak dipaten, hasil kreasi gerabah dan keramik kasongan-pundong dijiplak trus dipaten, lagu-lagu Indonesia “tempoe doeloe” juga dipaten, orang-orang Indonesia pada dipalak juga dipaten-i. Semoga bukan tanda-tanda paranoid.

“Mbakyu, kowe ki masih nekad mau balik kesana lagi to?”

Tiba-tiba tanti, adik satu-satunya lek siti, muncul dari dalam rumah dan ikut berkomentar sambil membawakan segelas teh manis buat budhenya.

“Hhh….” Hanya terdengar desahan panjang nafas lek siti. Beberapa saat lek siti tampak menerawang meng-absen satu per satu pucuk pepohonan yang berada dihalaman rumahnya.

“Kamu sudah minta ijin sama suamimu?”, pertanyaan Budhe Sam memecah keheningan.

“Justru dia biang penyebabnya, coba panjenengan lihat isi rumah sekarang….”, tukas lek siti

Lek siti bergegas dari lincak dan membuka lebar pintu utama Rumah Sehat Sederhananya. “ Lihat Budhe, buffet antik warisan bapak yang dulu diangkut kesini pake mobilnya Budhe sekarang sudah bablas ga tau dimana rimbanya”. Ga Cuma itu saja, televisi juga lenyap. Motor supra masak ga ada setahun ko bisa berubah jadi pitung. Semua itu memang kelakuan Mas Karyo.

“Namanya saja yang karyo, prakteknya ga pernah makaryo (bekerja), tiduurr terus.. klo bangun maunya semua sudah tersedia. Kopi, rokok, cemilan pokoknya harus ada. Apa ga bikin mangkel kalo kayak gini”.

“Padahal budhe, tiap bulan aku dah sisihkan gaji yang sudah mepet itu buat tak kirim kerumah, harapannya paling ngga Nisa sama Hakim biar sejajar sama temen-temennya disekolah. Wee.. lha koq malah semua diuntal sama Si Karyo Pawiro Sableng itu. Aku bener-bener ga nyagka kalo kejadiannya seperti ini”.

“Dulu aku mau nikah sama dia karena orangnya alim, lulusan pondok ngruki lagi. Dulu pas walimahan aja dia sempat ngeloyor milih pergi ke mesjid buat adzan dhuhur dari pada ngladenin tamu yang pada dateng. Sekarang benar-benar berubah…..”

Sore itu lek siti meluapkan segala kekecewaannya dihadapan budhenya sebagai orang paling ia percaya sebagai pengganti kedua orang tuanya yang meninggal setahun lalu akibat gempa. Sepenggal sore yang menyisakan kedukan bagi seorang anak manusia yang harus merumput di ladang orang. Yang siap menerima segala resiko dari hardikan si empunya ladang, atau harus berlari-lari kecil menghindari gonggongan anjing piaraannya.

Gambaran kebahagiaan yang didambakan ketika bertemu dengan orang-orang yang dicintai lenyap sudah…….

############

“Mas karyo..bangun, sekarang dah 7.30 dah sholat subuh blum?? Mas, mas, gek ndang tangii. Malu ma tetangga, jam segini ko masih njingkrung kemulan sarung. Kamu itu bukan joko lelur….” Pagi itu Lek siti ngoprak-oprak suaminya tuk bangun pagi, seperti aktivitas pagi sebelum-sebelumnya semenjak kepulangan dari Malaysia sepekan lalu. “Ehh…. Kosik to bu ne… aku tak ngolet dulu, kamu ga tau po kalo aku semaleman lembur ronda, jaga keamanan kampung”. Mas Karyo sedikit merespon istrinya sambil tetap memejamkan mata dan membetulkan posisi bantal gulingnya.

“Mas pokoknya aku ga mau tanggung jawab kalo kopinya jadi dingin”, senjata terakhir Lek Siti membangunkan suaminya. Memang, dimeja rotan tak jauh dari tempat tidur telah disediakan kopi dan telo goreng yang masih manget-manget untuk suami malesnya. Sebuah perbuatan yang sangat sulit dilakukan tanpa ada dasar ketulusan dan cinta. Meskipun sementara manusia selalu mempertanyakan dua hal itu. “Buat apa cinta, emang bakal kenyang kalo makan cinta, bodohnya dia berkorban sebegitunya tanpa dihitung sedikitpun”, dan pernyataan-pertanyaan senada lain tentunya.

Benar saja tak berselang lama Mas karyo sudah nangkring di dingklik tinggi buatan bapaknya yang sudah terlihat reyot. “Tii..siti… kopinya kurang manis, mana gulanya?? Kamu ini gimana toh, dah lupa ama seleraku po?” Tanya mas Karyo setengah menghardik. “Gulanya habis, kemaren belum sempat beli lagian juga ga diingetin” balas lek siti ga mau kalah dari dapur. “Lha itukan dah tugasnya wong wadon sebagai pengelola rumah, ga usah disuruh harusnya sudah reflek”, tukas Mas Karyo sambil mengumpat. Lek siti pun tidak mau meladeninya lagi, daripada berantem mending masak. Menyalurkan hobi sekaligus menghilangkan stress.

“Mas…. Terdengar suara lek siti mendekat dari arah rumah belakang”, dengan membawa kalo yang masih berisi parutan kelapa Lek Siti mendekati suaminya yang sedang nyedot samsu-nya di lincak depan rumah. Sambil memeras parutan disamping suaminya Lek Siti membuka pembicaraan, “Mas, Sekarang kan Hakim sudah kelas enam, sebentar lagi bakal lulus. Kira-kira nanti mau kita sekolahkan kemana, trus gimana persiapan keuangannya?”. “Kamu itu ngapain to ti, aaku tu males banget kalo diajakin ngomong kayak gitu. Memang anak kalo ga sekolah mati apa? Yang pentingkan bisa baca sama bias bedakan duit, trus suruh aja kerja. Lha wong nyatanya sekarang banyak sarjana juga nganggur”. “Coba kamu piker kalo anak dari kecil sudah bias bekerja, trus dihitung pendapatannya jika disbanding yang baru lulus kuliah pasti dia sudah bias menghsilkan uang yang jauh lebih banyak. Sekolah itu buat apa? Rak yoo buat cari duit to??” mas karyo mulai mencecar istrinya.

“bukan begitu maksud ku mas, yaa paling engga’ kita siap-siap. Siapa tau besok dia pengin sekolah lagi. Klo aku yaa minimal bias sampai lulus STM apa SMA biar wawasannya ebih luas, temennya juga tambah banyak”. “Apa mungkin juga dia klo minta disekolahkan di pondok, kayak kamu dulu si Ngruki, kan pasti akan keluar biaya”. Terang lek siti

“lah..Yo Mbuh lah, aku ngga mau mumet – mumet”, jawab mas karyo singkat.

“maksudku gini… aku masih punya sedikit tabungan, gimana kalo dibelikan sapi-pedet aja trus digemukkan, ditaruh aja dibelakang rumah situ”, “kalo kita beli pedetnya sekarang, nanti bulan ke-enam ato ke tujuh kan sudah bias dijual pas sama waktu kelulusan anak kita”, usul lek siti. “wah kalo gitu aku ntar jadi tambah repot, tambah sibuk”. Alasan mas karyo

“Hehh… kamu itu orangnya emang sulit koq mas, ga bias diajak berpikiran maju”, tukas lek siti kesal sambil ngeloyor balik lagi ke dapur.

################

Cari Kerja?? Pasti ada Passwordnya

Disuatu siang yang agak panas dan gerah, ditengah sebuah kesibukan kerja tiba-tiba terdengar suara merdu (dari seorang perempuan tentunya) : ”Permisi mas…?? Eng..mau nanya apa benar disini kantor bank syariah?”, ”Iya betul, ada yang bisa dibantu”, jawab mas-mas yang dideketnya. ” ini anu mas, saya dapat informasi katanya bank syariah disini lagi membuka lowongan kerja. Saya mau masukin lamaran” lanjut mbaknya (tambahan info : mba nya ckp, he..he..). ”Apa mba, saya mau dilamar?? Wah ga usah repot-repot lho mba??” Canda si mas tadi. “Bukan gitu maksud saya, saya mau masukin surat lamaran pekerjaan”, sergah si mba dengan agak sewot. ”o..nggih, silahkan dikumpul di meja deket almari itu, saya lagi nanggung je..” balas si mas dengan logat khasnya dan senyum jail tanda sukses ngerjain orang.
”dah ya mas, trimakasih, permisii..” si emba langsung ngacirr.. suasana kembali seperti sediakala. Masing-masing sibuk dengan urusannya. Ternyata situasi ini tidak berlangsung lama. ”Permisi..Assalamu’alaikum...” (yach.. suara mba-mba lagi dech). Lagi-lagi mas yang paling deket pintu langsung nyahut ”wa’alaikum salaam, ada yang bisa dibantu mba?” sambil melongokkan kepala. (wee.. lha koq gaul pakaiannya, hmm..???). ”Maaf mas, saya mau masukin surat lamaran pekerjaan” ucap si mba agak mendayu-dayu (comment :yg ini agak dilebih-lebihkan biar ....). ” Taruh di meja aja mba” jawab si mas sperti sebelumnya dia nglayani ”tamu-tamunya”. Dan ternyata seharian penuh dan beberapa hari setelahnya ritual kerjaan jadi nambah. Nglayanin orang mau nglamar kerjaan (Hari gini pekerjaan emang susah banget dicari!!)
Bertemu dengan banyak pelamar memang menyenangkan sekaligus mengherankan. Menyenangkan karena suasana ruang menjadi ngga bete dan ada suasana baru dengan interaksi-interaksi singkat yang terjadi. Tapi yang membuat jadi heran juga ada, apakah itu??? (ada dee..h, ehh engga’ dink). Yaitu perilaku!! Dari sekian orang baru yang berinteraksi hanya beberapa gelintir saja yang gayanya pas dengan lingkungan yang ia harapkan untuk kerja disana. Seringkali otak ini dipaksa untuk berpikir karena suatu kejadian yang sebenarnya ga ada nyangkut-nyangkutnya ama kepentingan pribadi. Ya kayak kasus ini. Nglamar di bank syariah ko masuk ruangnya ga ngucapin salam??! Pakaiannya juga gitu..(ga usah dibayangin, ntar ngamuk-ngamuk lagi sampe rumah!?). ini kan bank syariah??
Mungkin kalo Cuma satu atau dua orang sih ga masalah, bisa dianggap oknum. Tapi ini mayoritas hampir semua bahkan (waduh, semakin sulit emang nyari yang kualified). Pertanyaan yang segera mendera bertubi-tubi, apakah teman-teman kita itu tidak sempat belajar atau sekedar membaca buku-buku manajemen terapan yang mengajarkan bagaimana kita berperilaku pada suatu tempat tertentu? (yang ini gaya konvensional). Ataukah teman-teman kita ini (mungkin kita juga kallee..) belum sempat membaca adab-adab menghadiri dan berinteraksi dalam sebuah majlis? (klo yang ini versi syariahnya). Atau apakah sikap-sikap ”aneh” ini emang udah menjadi gaya dan kebiasaan kebanyakan orang sampe orang lain canggung kalo harus berbeda. Kalo bener ini yang terjadi wah bener-bener tuubaa lil ghurobaa nih.
Mungkin kita sepakat kalo perkerjaan saat ini tidak sekedar sebagai usaha penyambung usia dan pengganjal perut, tapi ia telah memasuki ke ranah lifestyle. Sehingga tak jarang banyak orang yang pilih-pilih dalam mencari pekerjaan. Ada yang memilih pekerjaan yang deket lingkaran artis, ada yang memilih pekerjaan yang ga mau kotor-kotor dan kostum yang modis, ada juga yang memilih pekerjaan yang mengutamakan perolehan uang dengan cepat berlipat ganda bahkan kalo bisa tinggal duduk manis dirumah tapi sistem yang jalan (weleh..weleh..). kecuali kalo dah kepepet, paling-paling bilang : ”ya.. gimana lagi, anak dah lahir, nglamar kerja ksana-ksini dah bolak-balik juga ga ketrima. Mungkin ini satu-satunya jalan, jadi penjual gorengan! (dia ga nyadar klo ternyata penjual gorengan banyak yang sukses luar biasa, contohnya pakde Mc Donald)”. Itu smua sah-sah saja dan mang harus ada target kesana, tapi memang harus ditentukan dengan kesadaran penuh dan tujuan yang jelas. Kedua hal ini bagaikan dua sisi dalam sekeping uang logam (wah, ungkapan jadul kluar lagi nih)
Kesadaran penuh atau akan melahirkan sebuah pilihan tepat yang berdasar atas pembacaan jeli dan sesuai dengan bekal/modal pribadi yang dimiliki. Ia tidak akan mudah terombang-ambing apalagi sekedar ikut tren yang sedang marak. Sebuah brand yang unik hanya dimiliki oleh orang-orang yang bukan pengikut, tapi hanya dimiliki oleh orang yang fokus dan dengan kesadaran penuh. Dengan kesadaran ini pula ia tidak mudah terbius oleh iming-iming yang sesaat dan belum tentu terwujud sehingga tidak terjebak dalam situasi yang sangat menyulitkan karena ia harus menggadaikan barang yang paling berharga yaitu aqidah dan ”barang-barang berharga” lainnya.
Banyak kita temukan kasus, hanya gara-gara ingin kaya dengan cepat dan memiliki harta yang melimpah dengan mudah seseorang rela menekuni bisnis ribawi dengan berbagai macam modifikasi dan berbagai macam jawaban yang telah dipersiapkan dan dirasional-rasionalkan sesuai syar’i. Padahal orang tersebut dari kecilnya sudah bergelut dan sekolah ditempat yang mengajarkan kafaah syar’i.(ehh..ehh..ehh, ini adalah fitnah yang kejam, na’udzubillahi min dzaalik, kata pak SBY. Ehh..ehh..ehh, ini pasti bakal rahasia ilahi kalo dia ngga tobat, kata pak SLB). Ato contoh lain yang lebih norak lagi, hanya gara-gara kepingin nampang di layar kaca trus dia merelakan diri jadi ”tukang pijetnya” pak produser, cerita klasik yang terus berulang-ulang. Ini terjadi karena orang yang melakukannya sedang tidak sadar.
Selain kesadaran ada tujuan yang jelas. Tujuan adalah sesuatu yang dituju ia menjadi sebuah limitasi, semua orang akan bergerak terus tanpa berhenti sebelum limitasi itu tergapai. Sedangkan jelas adalah tidak tersamarkan, sesuatu yang tervisualisasi secara gamblang dari berbagai sudutnya sehingga tidak menyesatkan dan menjadi spirit tesendiri bagi orang yang ingin menggapainya. Tujuan yang jelas hanya diperoleh melalui asupan informasi yang benar dan melalui sumber tidak ada lagi keraguan didalam kebenarannya. Sumber yang benar mempunyai sifat informasi yang bertahap dan tidak meloncat tetapi mempunyai dampak yang paten. Ia juga terjaga keasliannya serta bervariasi ada yang sulit ataupun mudah dalam mendapatkannya. Tujuan yang jelas semakin memberikan informasi kepada kita apakah jalan yang ditempuh, tata cara yang di pilih serta pencapaian yang telah dilalui adalah sebagai titik antara ataukah sebagai finish bagi kehidupan yang sesungguhnya.
”Assalamualaikum...”, ”Wa’alaikum salaam...” (Gubrak, Glodak – Glodak, Krompyeng..), ”Afwan pa mau tanya, disini alamat bank syariah yang sedang membuka lowongan kerja ya?”, ”i..i..iya, benul, ada yang bisa di bantu??”, ”Saya mau masukin surat lamaran tuk bergabung di lembaga ini”, ”bisa, apakah persyaratan sudah dipenuhi?”, ”insyaallah sudah”, ”kalo gitu silahkan di taruh diatas meja”, ”jazakallah pak, assalaamu’alaikum....”, ”wa’alaikum salaam...” (he..he.. klo yang ini akhwat..)

Edisi Cantik

Tulisan ini adalah pengalaman sepenggal perjalanan hidup segolongan kecil manusia dalam mengarungi kehidupan nyatanya. Kehidupan yang penuh dengan perniknya, bintang-bintang yang menghiasi langit kenyataan yang terkadang muncul terang ataupun meredup. Semuanya berlalu begitu saja sesuai dengan suasana dan pensuasanaan masing-masing pribadi dalam menjelajahi pada setiap sudutnya. Terkadang penjelajahan itu membutuhkan bekal yang tidak kecil terutama kesiapan untuk mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam pemaknaan hidupnya.

Edisi cantik membahas tentang kehidupan para perempuan perkasa dalam setiap sepak terjangnya sesuai dengan tema besarnya, cantik. Belum sempat diriku membaca apalagi memahami alur berpikir dan pemaknaan hidup para perempuan ini mengingat singkatnya interaksi yang terjadi. Mereka muncul pada saat kebanyakan manusia menginginkan ketenangan atau menghilangkan kepenatan pada situasi yang kadang atau seringkali ditengah hiruk pikuk kehidupan yang mobile. Tapi dengan ketegaran, kesabaran, kepercayaan diri serta trik tentunya ia menyapa dengan segenap potensinya kepada siapapun yang dilewati dengan teriakan-teriakan yang berbeda-beda.

Dalam sebuah kereta ekonomi, special offer dari para special promotion girl selalu terdengar dan melingkar-lingkar disekitar kuping para penumpangnya. “Nasi anget..nasi anget.., Kopi..Kopi..Kopi, Kacang..kacang..kacang..” dan teriakan teriakan “merayu” lain tentunya. Mereka adalah para perempuan dalam edisi “cantik” kali ini. Mereka benar-benar cantik karena tidak satupun para perempuan itu “ber-jerawat” (bukan berarti yang berjerawat tidak cantik, kadang menjadi semakin beautiful dengan hiasan bintangnya, kan jadi ada kerlip2nya, apalagi dah gitu ngambek, hee..). Wajah tanpa jerawat disini adalah wajah ketulusan yang merelakan untuk terus berjaga dalam perjalanan malam hari. Terkadang mereka membantu para penumpang yang terpulaskan oleh raungan besi tua yang sering terbatuk-batuk karena kondisi uzurnya. “Mas..Mas yang turun Cirebon, sudah sampe bekasi…yang bekasi…yang bekasi”, mereka tetap berteriak tidak hanya menawarkan produknya. Prinsip service excellent dipakainya, dari mana teori itu didapat mungkin itu tidak penting bagi mereka. Yang paling penting adalah bagaimana daganganku laku itu saja.

Mereka memang cantik karena tidak ada satupun dari pedagang perempuan itu yang tidak menggunakan kosmetik kecantikan yang menghiasi wajah meski hanya bedak atau parfum yang beraroma khas para pekerja (yang pada kadar tertentu bukannya wangi tapi orang bisa puyeng klo lama-lama di deketnya). Juga tidak ada rambut yang terurai lusuh tanda hilangnya semangat juang meski beroperasi di saat tepat untuk istirahat. Ya, style dan kosmetik super sederhana namun cukup eye catching bagi para penumpang kereta, meskipun dalam kondisi lelah dan terkantuk-kantuk sekalipun?!! Satu lagi, siapapun yang melirik apalagi memandang “kecantikan” itu maka sang perempuan pasti akan segera berhenti dan menggeber dagangannya, “yang anget mas, kopi-kopi atau kacangnya juga ada. Murah mas”. Luar biasa mereka menggunakan prinsip, take a moment get the transaction, yang lagi-lagi darimana teori itu didapat pasti tidak penting.

Mondar-mandir pada gerbong yang sama dengan penumpang yang sama menawarkan barang yang sama tidak segera membuat lemah motivasi jika tidak segera direspon oleh calon “rajanya”. Sebuah mentalitas yang sulit ditemukan kecuali oleh para perempuan “cantik” ini. Persis seperti apa kata Hasan al Bashri ketika ditanya tentang optimisme hidupnya. Beliau berkata : “aku tidak khawatir akan kehidupanku karena tuhan telah memberikan jatah rejeki kepadaku yang tidak akan bisa diakses oleh orang selain diriku”. Yang jelas ini tidak penting apakah kondisi mentalitas seperti ini akibat keterpaksaan ataupun karena sebuh kesadaran penuh sebagai landasan keputusan.

Sepenggal perjalanan para perempuan cantik yang meniti kehidupan dan mengais rejeki dari gerbong ke gerbong. Tidak diketahui apa motivasi yang menyebabkan karir ini ditempuh. Juga tidak diketahui apakah ia juga menjadi sebuah loko yang harus menarik sekian gerbong dibelakangnya ketika dirumah. Ataukah ia adalah sebuah gerbong yang harus mendorong loko usang karena uzur dan ketidakmampuan sang loko menariknya. Sebuah pilihan yang tidak mudah juga tidak terlalu sulit, tergantung simplisitas cara pandang bagi orang yang memandang. Sebuah perenungan yang bisa simple dan juga bisa rumit, tergantung juga dari mana sudut pandang orang yang merenungkan.

Empat Hal Yang Membuat Manusia Mudah Diganggu Jin

Jin sangat mudah masuk kedalam tubuh manusia yang mempunyai perangai sebagai berikut :  Senang Marah-marah Yang Berlebihan Terjeremb...