“Oalah Budhe..saya dirumah malah jadi ga betah. Mending aku balik lagi aja ke Malaysia”, ujar lek siti sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran lincak yang sudah reot di beranda rumahnya. “Lha kamu itu gimana, katanya disana kerja penghasilannya pas-pasan ga jauh beda sama kerja dirumah, belum lagi kalo diperas disana-sini. Kemarin baru ngeluh gitu ko sekarang dah ngomongnya gini?”. Sanggah budhe sam sembari memunculkan memori kekecewaannya kerja di Negara tetangga yang makin hari makin banyak masalah.
Malaysia, Negara sebrang laut itu makin lama making ga jelas, orang bilang gejala kehilangan jati diri. Desain batik Indonesia dijiplak dipaten, hasil kreasi gerabah dan keramik kasongan-pundong dijiplak trus dipaten, lagu-lagu Indonesia “tempoe doeloe” juga dipaten, orang-orang Indonesia pada dipalak juga dipaten-i. Semoga bukan tanda-tanda paranoid.
“Mbakyu, kowe ki masih nekad mau balik kesana lagi to?”
Tiba-tiba tanti, adik satu-satunya lek siti, muncul dari dalam rumah dan ikut berkomentar sambil membawakan segelas teh manis buat budhenya.
“Hhh….” Hanya terdengar desahan panjang nafas lek siti. Beberapa saat lek siti tampak menerawang meng-absen satu per satu pucuk pepohonan yang berada dihalaman rumahnya.
“Kamu sudah minta ijin sama suamimu?”, pertanyaan Budhe Sam memecah keheningan.
“Justru dia biang penyebabnya, coba panjenengan lihat isi rumah sekarang….”, tukas lek siti
Lek siti bergegas dari lincak dan membuka lebar pintu utama Rumah Sehat Sederhananya. “ Lihat Budhe, buffet antik warisan bapak yang dulu diangkut kesini pake mobilnya Budhe sekarang sudah bablas ga tau dimana rimbanya”. Ga Cuma itu saja, televisi juga lenyap. Motor supra masak ga ada setahun ko bisa berubah jadi pitung. Semua itu memang kelakuan Mas Karyo.
“Namanya saja yang karyo, prakteknya ga pernah makaryo (bekerja), tiduurr terus.. klo bangun maunya semua sudah tersedia. Kopi, rokok, cemilan pokoknya harus ada. Apa ga bikin mangkel kalo kayak gini”.
“Padahal budhe, tiap bulan aku dah sisihkan gaji yang sudah mepet itu buat tak kirim kerumah, harapannya paling ngga Nisa sama Hakim biar sejajar sama temen-temennya disekolah. Wee.. lha koq malah semua diuntal sama Si Karyo Pawiro Sableng itu. Aku bener-bener ga nyagka kalo kejadiannya seperti ini”.
“Dulu aku mau nikah sama dia karena orangnya alim, lulusan pondok ngruki lagi. Dulu pas walimahan aja dia sempat ngeloyor milih pergi ke mesjid buat adzan dhuhur dari pada ngladenin tamu yang pada dateng. Sekarang benar-benar berubah…..”
Sore itu lek siti meluapkan segala kekecewaannya dihadapan budhenya sebagai orang paling ia percaya sebagai pengganti kedua orang tuanya yang meninggal setahun lalu akibat gempa. Sepenggal sore yang menyisakan kedukan bagi seorang anak manusia yang harus merumput di ladang orang. Yang siap menerima segala resiko dari hardikan si empunya ladang, atau harus berlari-lari kecil menghindari gonggongan anjing piaraannya.
Gambaran kebahagiaan yang didambakan ketika bertemu dengan orang-orang yang dicintai lenyap sudah…….
############
“Mas karyo..bangun, sekarang dah 7.30 dah sholat subuh blum?? Mas, mas, gek ndang tangii. Malu ma tetangga, jam segini ko masih njingkrung kemulan sarung. Kamu itu bukan joko lelur….” Pagi itu Lek siti ngoprak-oprak suaminya tuk bangun pagi, seperti aktivitas pagi sebelum-sebelumnya semenjak kepulangan dari Malaysia sepekan lalu. “Ehh…. Kosik to bu ne… aku tak ngolet dulu, kamu ga tau po kalo aku semaleman lembur ronda, jaga keamanan kampung”. Mas Karyo sedikit merespon istrinya sambil tetap memejamkan mata dan membetulkan posisi bantal gulingnya.
“Mas pokoknya aku ga mau tanggung jawab kalo kopinya jadi dingin”, senjata terakhir Lek Siti membangunkan suaminya. Memang, dimeja rotan tak jauh dari tempat tidur telah disediakan kopi dan telo goreng yang masih manget-manget untuk suami malesnya. Sebuah perbuatan yang sangat sulit dilakukan tanpa ada dasar ketulusan dan cinta. Meskipun sementara manusia selalu mempertanyakan dua hal itu. “Buat apa cinta, emang bakal kenyang kalo makan cinta, bodohnya dia berkorban sebegitunya tanpa dihitung sedikitpun”, dan pernyataan-pertanyaan senada lain tentunya.
Benar saja tak berselang lama Mas karyo sudah nangkring di dingklik tinggi buatan bapaknya yang sudah terlihat reyot. “Tii..siti… kopinya kurang manis, mana gulanya?? Kamu ini gimana toh, dah lupa ama seleraku po?” Tanya mas Karyo setengah menghardik. “Gulanya habis, kemaren belum sempat beli lagian juga ga diingetin” balas lek siti ga mau kalah dari dapur. “Lha itukan dah tugasnya wong wadon sebagai pengelola rumah, ga usah disuruh harusnya sudah reflek”, tukas Mas Karyo sambil mengumpat. Lek siti pun tidak mau meladeninya lagi, daripada berantem mending masak. Menyalurkan hobi sekaligus menghilangkan stress.
“Mas…. Terdengar suara lek siti mendekat dari arah rumah belakang”, dengan membawa kalo yang masih berisi parutan kelapa Lek Siti mendekati suaminya yang sedang nyedot samsu-nya di lincak depan rumah. Sambil memeras parutan disamping suaminya Lek Siti membuka pembicaraan, “Mas, Sekarang kan Hakim sudah kelas enam, sebentar lagi bakal lulus. Kira-kira nanti mau kita sekolahkan kemana, trus gimana persiapan keuangannya?”. “Kamu itu ngapain to ti, aaku tu males banget kalo diajakin ngomong kayak gitu. Memang anak kalo ga sekolah mati apa? Yang pentingkan bisa baca sama bias bedakan duit, trus suruh aja kerja. Lha wong nyatanya sekarang banyak sarjana juga nganggur”. “Coba kamu piker kalo anak dari kecil sudah bias bekerja, trus dihitung pendapatannya jika disbanding yang baru lulus kuliah pasti dia sudah bias menghsilkan uang yang jauh lebih banyak. Sekolah itu buat apa? Rak yoo buat cari duit to??” mas karyo mulai mencecar istrinya.
“bukan begitu maksud ku mas, yaa paling engga’ kita siap-siap. Siapa tau besok dia pengin sekolah lagi. Klo aku yaa minimal bias sampai lulus STM apa SMA biar wawasannya ebih luas, temennya juga tambah banyak”. “Apa mungkin juga dia klo minta disekolahkan di pondok, kayak kamu dulu si Ngruki, kan pasti akan keluar biaya”. Terang lek siti
“lah..Yo Mbuh lah, aku ngga mau mumet – mumet”, jawab mas karyo singkat.
“maksudku gini… aku masih punya sedikit tabungan, gimana kalo dibelikan sapi-pedet aja trus digemukkan, ditaruh aja dibelakang rumah situ”, “kalo kita beli pedetnya sekarang, nanti bulan ke-enam ato ke tujuh kan sudah bias dijual pas sama waktu kelulusan anak kita”, usul lek siti. “wah kalo gitu aku ntar jadi tambah repot, tambah sibuk”. Alasan mas karyo
“Hehh… kamu itu orangnya emang sulit koq mas, ga bias diajak berpikiran maju”, tukas lek siti kesal sambil ngeloyor balik lagi ke dapur.
################