Judulnya Adalah Ukhuwah

Ukhuwah adalah sebuah kata yang sangat sarat dengan makna. Kekokohan sebuah keluarga, kelompok masyarakat ataupun skup besar lainnya sangat tergantung dengan kondisi ukhuwah para pihak yang ada didalam komunitas tersebut. Tidak hanya itu, semangat ukhuwah yang telah merasuk akan menimbulkan pola dan perilaku kehidupan yang positif bagi pribadi. Ia tidak khawatir dengan aktifitas teman, tetangga ataupun kolega bisnisnya. Semua akan dilihat dari perspektif baik-nya, bukan dari perspektif “jangan-jangan”.

Kisah – kisah tentang ukhuwah yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu tentu sangat menarik hati. Bahkan membacakan kisah-kisah keteladanan tentang ukhuwah dapat pula dijadikan sarana untuk membangun kesolidan sebuah tim. Cerita tentang abu bakar Ra yang membebaskan bilal dengan sekian uang yang harus dikeluarkan adalah ukhuwah. Cerita suhail yang mendahulukan saudaranya untuk minum seteguk air dalam kondisi sama sama sekarat adalah ukhuwah. Cerita tentang ali yang mau dan suka rela menggantikan posisi tidur rasulullah ketika hendak berhijrah adalah ukhuwah. Kisah keberanian para pemuda anggota jamaah ikhwan di mesir yang dengan gagah berani menutup sela-sela pintu tahanan menjadi perisai agar berondongan peluru tidak mengenai ikhwah lain yang sudah berkeluarga hingga sebagian daging mereka harus muncrat ke tembok tahanan akibat tembakan jarak dekat adalah wujud dari ukhuwah. Subhanallah, luar biasa. Perilaku yang menggetarkan jiwa, memunculkan ketenangan, memberikan jaminan rasa aman, persaudaraan yang menembus batas.

Ajaran ukhuwah mempunyai jangkauan yang sangat luas. Ia terbentang dari sekedar salamatus shadr hingga itsar . Salamatus shadr adalah berlapang dada, ia ikut bergembira tatkala saudaranya mendapatkan nikmat juga ikut bersedih tatkala saudaranya ditimpakan musibah. Hanya sekedar perasaan saja, sesungguhnya itu sudah bagian dari ukhuwah meskipun belum sampai kepada aksi. Sedangkan itsar adalah mendahulukan kepentingan saudara ketimbang kepentingan diri. Ia tidak lagi mengutamakan dirinya, karena saudara harus didahulukan. Betapa luas dimensi ukhuwah ini, hanya sekedar ikut menyamakan kondisi hati dan suasana saudaranya saja ia akan mendapatkan berkah ukhuwah. Apatah lagi ia selalu siap menjadi orang yang pertamakali mengorbankan dirinya untuk kepentingan saudaranya, pastilah Allah akan memberikan banyak keutamaan pada diri hamba tersebut.

Tidak jarang kisah tentang ukhuwah didramatisir sedemikian rupa sehingga ia selalu berdimensi berat dan dengan beban-beban ekstrim. Kisah yang dimunculkan lebih sering merupakan taklif Allah kepada hambanya yang memang telah memiliki makom yang sangat tinggi semisal Rasul dan para sahabatnya. Dampaknya, orang yang menceritakan atau dai yang mendakwahkan seolah tidak mempunyai beban tersendiri karena memang secara psikologis telah ada jarak kualifikasi yang jauh dengan pelaku pada kisah ukhuwah tersebut. Dampak lainnya adalah karena yang sering disampaikan adalah ukhuwah-ukhuwah kelas berat, maka seringkali manusia termasuk juga para dai nya tidak berdaya menghadapi kasus-kasus ukhuwah kelas ringan. Padahal kisah ukhuwah kelas berat, selama hidup belum tentu kita akan mengalaminya. Sedang kisah ukhuwah kelas ringan kita selalu bertemu setiap saat.

Ada sebuah kisah yang menyadarkanku tentang ukhuwah kelas ringan ini. Yang ternyata tidak mudah untuk melaluinya meski hanya sebatas salamatus shadr. Ada seorang teman yang akan melaksanakan pernikahan. Tapi ternyata teman-teman seperjuangan dari salah satu calon mempelai berusaha mati-matian untuk menghalangi. Alasannya adalah kedua orang ini telah saling kenal dan sempat beraktifitas pada lembaga yang sama dan keduanya merupakan aktifis yang cukup dikenal oleh kader serta aktifis lainnya. Dikhawatirkan jika pernikahan mereka terjadi, akan ber-efek kedepan bagi bawahan-bawahannya. Sehingga dengan berbagai cara temen-temen satu tim memberikan sinyal negatif pada calon manten. Inilah yang akhirnya berdampak pada pola interaksi dan persahabatan yang terjadi. Sebelumnya persahabatan yang begitu kental berubah menjadi suasana yang tegang, suasana pengadilan. Meski belum tentu “para hakim” ini mempunyai kualifikasi seorang hakim yang harus mampu bertindak se-objektif mungkin dengan meminimalisir kecenderungan psikologis. Suasana yang sebelumnya harmonis menjadi interaksi yang penuh dengan prasangka bisu.

Saya berpikir keras tentang kasus ini, dan mencoba mengurai dalam perspektif ukhuwah sesama kader dakwah. Karena saya mengetahui secara persis teman yang akan menikah tersebut. Ijinkan saya menyapaikan beberapa prinsip dalam pernikahan yang saya pahami, tentunya sangat terbuka dengan diskusi dari para pembaca budiman.
Pertama, menikah adalah sebuah ibadah yang penting meski tidak terkategori dalam ibadah mahdhoh yang berlaku hukum hitam-putih/halal-haram semata. Bahkan dalam mayoritas macam prosesinya mirip dengan tata cara dalam hukum muamalah-tijaroh. Sehingga dalam pelaksanaannya cenderung menggunakan kaidah ushul yang digunakan dalam muamalah ”al ashlu fil muamalah al ibaahah hatta yadullad daliilu ‘alaa at tahriiimihi”. Proses dari awal hingga akhir diperkenankan berbeda-beda dari sisi teknis asal tidak melanggar syara’

Kedua adalah prinsip jodoh dari “kalangan” sendiri. Pernikahan terjadi karena manusia ketemu dengan jodohnya. Sedangkan jodoh merupakan rahasia Allah yang telah disiapkan sejak penciptaan. Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa cenderung dan tenteram kepada mereka, dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang diantara kamu sekalian. Sungguh pada hal yang demikian ini terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar rum; 21). Allah telah menentukan jodoh, jika belum ketemu masih berupa qodho, namun jika telah bertemu itulah takdir. Dan ini adalah wilayah ilahiyah bukan wilayah manusia, wilayah manusia ada pada upaya untuk menemukannya melalui pencarian-pencarian serta istikharah-istikharah yang telah dilalui oleh hamba-hambanya.

Ketiga adalah prinsip ta’aruf atau pengenalan/kenal/tahu/mengerti. Saya memahami bahwa orang bisa mengerti melalui interaksi yang terjadi atau informasi dari orang terdekat atau melihat dengan mata kepala sendiri. Prinsip ini sangat dianjurkan oleh rasulullah apalagi jika sebelumnya antara laki-laki dengan perempuan belum pernah berinteraksi. Dalam sebuah hadis, Mughirah bin Syu'bah meriwayatkan bahwa ia melamar seorang perempuan. Nabi pun bersabda, "Lihatlah dia, dengan itu kalian berdua bisa lebih abadi."Serta merta ia pun menghadap orang tuanya dan menceritakan apa yang diperintahkan Rasulullah saw. kepadanya. Kelihatannya kedua orang tua itu tidak suka. Sang gadis yang mendengar hal itu dari dalam kamarnya berkata, "Jika Rasulullah saw. memerintahkanmu untuk melihatku, lihatlah." Mughirah berkata, "Maka aku pun melihatnya kemudian menikahinya. " (HR. Ahmad, Ibnu Majah,Turmudzi,Ibnu Hibban, dan Darimi.) Rasulullah saw. tidak memberi batasan kepada Mughirah dan juga kepada laki-laki lain, seberapa bagian yang boleh dilihat. Sebagian ulama mengatakan, "Ia adalah wajah dan kedua telapak tangan." Akan tetapi wajah dan kedua telapak tangan boleh dilihat tanpa disertai nafsu di luar ketika meminang. Selama proses meminang itu dianggap kekecualian, seharusnya boleh melihat lebih dari jika dalam keadaan biasanya. Disebutkan dalam sebuah hadits, "Jika seseorang di antara kalian melamar seorang perempuan dan ia mampu melihat sebagian dari apa yang bisa mendorongnya untuk menikah, lakukanlah."

Sebagian ulama berlebihan dalam memberikan keringanan untuk melihat bagian yang dibolehkan. sebagian lain berlebihan dalam membatasi dan menyempit-nyempitkannya. Yang baik, sudah tentu, adalah sikap pertengahan. Sebagian peneliti memberikan batasan bahwa pada zaman sekarang, laki-laki yang hendak melamar boleh melihatnya dengan pakaian yang biasa dikenakannya di hadapan ayah, saudara laki-laki, dan mahram lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan, "Bahkan masih terkait dengan hadits ini, ia boleh menyertainya bersama dengan ayah atau salah seorang mahramnya ke tempat-tempat halal yang biasa dikunjunginya dengan mengenakan pakaian yang syar'i. Dengan begitu ia akan mengenal tingkat intelektualnya, kecerdasan, selera, dan kepribadiannya. Ini semua termasuk dalam pengertian 'sebagian' yang terkandung dalam sabda Nabi saw., 'Meli-hat sebagian dari apa yang bisa mendorongnya untuk menikah. (AI-Mar'ah Bainal/ Baiti Wal Muztamma', Al-Bahl Al-Khuli,.)

Baiklah, ketiga prinsip ini mari kita gunakan untuk meneropong pernikahan teman kita tadi. Pertama terjadi penolakan oleh teman-teman salah satu pihak mempelai dengan alasan keduanya adalah satu aktifitas. Oke, sebelum masuk ke pembahasan mungkin wacana bisa sedikit dikembangkan. Bagaimana jika semisal dalam satu lembaga terdapat ahmad, rina, lusi, dina, doni. Dalam kasus ini ahmad mempunyai kecenderungan kepada rina dan bermaksud untuk menikahinya, akan tetapi teman-teman se tim rina tidak sepakat karena mereka satu lembaga. Nah, jika ahmad tidak berkecenderungan dengan rina tetapi dengan lusi yang juga sama satu tim dan satu lembaga, apakah juga rekan-rekan satu tim lusi juga akan menolak dengan alasan satu lembaga?
Jika yang terjadi adalah teman-teman itu menghalangi terjadinya pernikahan antara ahmad dengan rina dan tidak menghalangi terjadinya pernikahan antara ahmad dengan lusi, maka disana terjadi sebuah ketidak adilan dan inkonsistensi. Namun jika ahmad tidak diperkenankan menikah baik dengan rina maupun lusi, maka ada kecenderungan sikap seperti ini melawan dari manhaj rabbani mengenai pernikahan dalam prinsip “jenismu sendiri” sesuai dengan ar rum :21. Apakah kualitas perkawinan dan keluarga yang dibangun atas latar belakang individu yang bernaung dalam lembaga yang sama lebih buruk dari keluarga yang dibangun dari person yang baru awal mengenal ketika memulai bahtera rumah tangga? Atau pertanyaan dibalik menjadi apakah rumah tangga baru yang dibangun dari person yang baru saling kenal mempunyai jaminan kualitas yang lebih baik?

Apa pilihan kita selaku teman seperjuangan; Lebih baik (ridho) yang mana antara ahmad menikah dengan anak dari “tetangga sebelah” yang berbeda fikroh atau bahkan anak “pinggir jalan” yang ga jelas dibanding dengan ahmad menikah dengan rina yang nota bene pernah satu lembaga? Disinilah kekuatan ukhuwah dalam level yang paling rendah, yaitu salamatusshadr mulai diuji.

Apakah perspektif ahmad ataupun rina disini telah menjadi bagian dari kalkulasi/ kapitalisasi informasi sehingga dapat diolah menjadi sebuah usulan keputusan final bagi rina? Apakah upaya-upaya ahmad ataupun rina yang bermunajat kepada Rabb nya dalam waktu yang tidak singkat untuk mendapatkan kemantapan hati dalam memilih tidak menjadi faktor penentu? Apakah sinyalemen dari Sang Khaliq kepada Ahmad harus sama atau disamakan dengan keinginan teman yang lainnya? Apakah perspektif kebaikan dan keburukan, senang dan tidak senang harus sama antara manusia dengan Allah?
Baiklah, Saya mencoba menyoroti prinsip yang ketiga yaitu ta’aruf. Dalam beberapa riwayat rasulullah mempunyai fokus yang serius dalam hal ini. Ta’aruf yang ternyata tidak hanya dalam perspektif perangai, amaliah, namun juga sudah sangat spesifik hingga kepada fisik. Ini mengindikasikan bahwa dalam rangka menuju pernikahan tidak boleh terjadi gharar (ketidak jelasan) baik itu sengaja ditutupi (tadlis) ataupun karena tidak dicari informasi. Maka secara pribadi saya kurang sepakat dengan model “percaya” dan “tutup mata/foto” karena ini bertentangan dengan rasulullah yang selalu menganjurkan untuk “melihat”. Padahal rasul adalah manusia yang maksum.
Saya memaknai melihat dalam dua situasi, jika kedua belah pihak belum saling kenal karena belum pernah berinteraksi maka melihat dimaknai dengan sebenarnya. Karena jaminan kenampakan fisiklah yang utama dan dapat dinilai dengan singkat, adapun informasi mengenai perangai, perilaku hanya didapat melalui orang-orang sekitar yang tidak dapat disimpulkan dalam beberapa saat dan bisa jadi bias. Namun jika kedua belah pihak telah pernah berinteraksi (melalui aktifitas dakwah misalnya) maka melihat lebih dimaknai sebagai fase pemantapan hati melalui konfirmasi ia dengan rabbnya. Sehingga menurut saya ketika seseorang dihadapkan dengan pilihan meskipun dengan kualifikasi dan spesifikasi yang sama akan tetapi orang itu telah familiar dengan salah satunya maka barang yang lebih familiar tentulah yang akan diambil. Bukan barang yang masih asing dan baru baginya.

Permasalah berikutnya adalah karena keduanya telah dikenal dan efek bagi kader dibawah, menurut saya tidak ada batasan secara syar’I bahwa orang yang dikenal harus dengan orang yang tidak dikenal. Pejabat tidak boleh dapat pejabat, dsb. Semuanya mempunyai peluang yang sama. Karena dikenal atau tidak dikenal akan sangat bergantung dengan tingkat mobilitas seseorang. Jika ia memiliki mobilitas yang tinggi maka akan ada kemungkinan di dikenal oleh lebih banyak orang. Begitu sebaliknya. Jika kemudian dimaknai perkawinan sesama aktifis dalam satu wadah diakibatkan adanya virus CBSA atau sebagainya, menurut saya itu terlalu dalam. Karena wilayah hati itu bukan wilayah manusia, nahnu nahkumu bi dzowahiri fa ammal bathinu allahu ahaqqu bihi, kami menghukumi perkara yang tampak sedangkan yang tersembunyi adalah hak dari Allah. Kecenderungan kepada lawan jenis adalah sesuatu yang fitrah dan sah-sah saja.

Yang tidak boleh adalah berinteraksi yang melanggar batas syar’I antara laki-laki dan perempuan baik itu disertai dengan kecenderungan (jatuh cinta) ataupun tidak, baik itu satu lembaga ataupun bukan. Hukumnya berlaku umum dan tidak ada pengkhususan. Nah, jika ini yang terjadi maka perilaku tersebut tidak dibenarkan dan selaku teman harus mengingatkan. Dan diselesaikannya kasus per kasus. Jadi menurut saya ada kata-kata “berdampak kebawah” ini bisa dipertanggungjwabkan bilamana ada batasan-batasan syar’I yang dilanggar dan itu terbukti secara otentik.
Jadi menurut saya selama itu fine-fine aja, there is nothing wrong, kayaknya kita perlu merubah persepsi dari pendekatan negatif menuju ke pendekatan positif. Mengapa ini tidak menjadi kabar gembira kita semua? Karena kita bersama telah dapat menghantarkan dakwah pada marhalah yang ke dua. Bukankah kegembiraan tersebut bagian dari salamatusshadr? Tingkat terkecil dari ukhuwah. Saya rasa jika kita mengembangkan sikap seperti ini tentu kebawah juga akan terjadi persepsi yang positif. Karena sesungguhnya opini di bawah akan muncul ataupun terbentuk dari opini di atas. Tentu manufer gerak lembaga juga akan menjadi lebih gesit karena tidak terbebani oleh perkara-perkara yang sesungguhnya bukan termasuk dari core activity –nya lembaga dan bukan pula kejadian yang layak diperkarakan.

Untuk itu, mari kita berbahagia dengan pernikahan saudara kita tersebut karena dengan kebahagiaan itu Allah akan memberikan berkahnya. Dengan kebahagiaan itu Allah juga akan menguatkan barisan kita. Dengan kebahagiaan itu pula kita juga menjadi termotivasi untuk segera menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang belum terselesaikan agar kita dapat menyongsong agenda-agenda lain yang menanti, termasuk agenda menikah! Allahu a’lam

Nb. Tulisan ini murni dari pemikiran individu dan terbuka untuk diskusi. Bukan atas nama Yayasan Bina Remaja Bantul www.binaremajabantul.blogspot.com

Empat Hal Yang Membuat Manusia Mudah Diganggu Jin

Jin sangat mudah masuk kedalam tubuh manusia yang mempunyai perangai sebagai berikut :  Senang Marah-marah Yang Berlebihan Terjeremb...