Lek Siti (2)

“tek…tek…tek…” suara rembesan air dari genteng tepat mengenai sisi dalam lubang ember hitam yang dipasang. Malam itu hujan secara spontan dan deras mengguyur kampung randu tempat lek siti menetap. Tanpa ada persiapan, rumah sangat sederhana dengan genteng keripiknya itu harus menghadang curah air yang cukup keras. Walhasil, genteng tidak mampu menahan derasnya dan bocorpun disana sini.

Tidak seperti musim-musim sebelumnya, setiap perpindahan musim pasti ada tanda-tanda perubahan seperti mendung atau gerimis untuk beberapa kali sebagai warming up, juga untuk mengabarkan kepada manusia bahwa musim telah berganti dan babak baru akan segera dimulai. Musim hujan kali ini langsung dan to the point. Langsung deras, langsung tanpa henti dan langsung petir sambar menyambar. Entah apa yang menyebabkannya. Ataukah bumi sudah semakin tua hingga ia lupa dengan jadwal dan protokoler musim pada setiap tahunnya. Atau ia sedang memprotes atas perilaku segolongan umat yang menghuni diatasnya.

Benar juga kata Ronggo Warsito. Iki sing dadi tandane zaman kolobendu (Ini yang menjadi tanda zaman kehancuran), Zaman kalabendu iku wiwit yen (Zaman ini ditandai dengan), Wong nemoni wolak-walik ing zaman (Manusia menemukan jaman yang terbolak-balik). Zaman memang terbalik, siangnya menjadi gelap (lantaran kita beraktifitas didalam ruangan), dan malamnya menjadi terang (lantaran jalan-jalan penuh dengan penerangan dan kita lebih suka untuk keluar meski sekedar nongkrong pada saat-saat ini). Zaman memang terbalik, jika beberapa saat yang lalu semua orang enggan keluar pada malam hari lantaran ada kuntilanak mengintai. Sekarang sebagian orang (kecenderungannya banyak) justru memburu para “anak kuntil” dan mereka pun rela meskipun harus mengintai.

Zaman yang kewalik inilah yang membuat beban lek siti semakin berat. Mlumah saja ia sudah merasa berat, apa lagi kalo harus Mengkurep. Beban yang semakin menyesakkan. Derasnya air hujan dan kerasnya terpaan anging yang menembus “ventilasi” rumah tidak membuat Lek Siti menggigil kedinginan. Fikiran terus mengiang-ngiang dan berputar mengimbangi besaran tenaga yang telah terkuras akibat kerja nonstop mengurusi pernik rumah tangga dari pagi sampai sore bahkan mungkin malam nanti yang kian larut. Sambil manggut-manggut Lek siti bergumam “inilah saatnya…semua harus diselesaikan sekarang”. “Aku tidak peduli apapapun yang akan menimpaku nantinya misalkan mas karyo tidak berkenan”, batin Lek siti sambil menguatkan motivasinya untuk menyelesaikan wolak-walik ing zaman dengan Mas Karyo.

Mas Karyo saat ini sedang dirumah, seolah hujan telah sengaja mengurungnya di rumah kecil yang sangat jarang ia singgahi ini. Ia lebih suka tidur di cakruk deket kuburan dari pada sekedar bercengkrama dengan Hakim yang sudah mulai merasa sangat kehilangan dengan ketiadaan kedua orang tua di masa puber-nya. Seperti biasa, sambil menghisap rokok samsu kreteknya, Mas karyo duduk dikursi disamping meja rotan tempat cemilan “wajib” nya. Tapi malam ini Mas Karyo lebih banyak diam, entah apa yang menyebabkan ia mau diam untuk berpikir. Entah tentang apa juga yang mas karyo fikirkan tidak ada manusia yang mengetahuinya. Termasuk lek siti yang telah lama memperhatikan sikap anehnya malam ini sambil menunggu waktu yang tepat untuk berbicara kepada orang “aneh” dan susah ditebak.

“Uhuk..uhuk, tampaknya mas karyo tersedak asap rokok yang dihirupnya. “Ono opo mas, kok batuk-batuk? Tukas lek siti sambil basa-basi agar bisa ngobrol sama suaminya. Mas Karyo masih diam, seolah tidak merespon lek siti. Dan memang pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban Karena memang sudah jelas karena dia batuk akibat ngisap terlalu dalam. Sambil mendekat perlahan lek siti menghampiri suaminya yang tetap membatu seolah menikmati asap rokonya. Sembari merapikan gelas, plastik dan asbak yang terserak tidak rapi diatas meja lek siti pun mengambil posisi duduk disamping kanan mas karyo. Untuk beberpa saat kondisi tetap diam, hanya suara rintikan hujan yang semakin mereda. Kedua anak mereka telah tertidur pulas. Lek siti tetap bertahan untuk diam, karena dia pasti akan selalu salah bila memulai pembicaraan.

“Srruup, hmm….”, sruputan Mas Karyo menikmati kopi kental manisnya. Suasana masih membisu. Tampak diraut muka Mas Karyo sebuah tampilan menunjukkan adanya beban yang sedang difikirkan. Tidak tahan juga dengan sikap diam mas karyo, lek siti akhirnya harus membuka komunikasi. “Kamu kenapa to Mas, masuk angin po?? Apa minta dikerokin?”naluri cinta lek siti-pun berbicara. “Ora Usah, aku ga kenapa-kenapa”, jawabnya singkat. “Tapi ko sikapnya Mas ga seperti biasanya, memangnya ada apa?”, “Ato panjenegan masih tersinggung masalah usulanku tentang pelihara sapi itu?”. “Kalo gitu aku minta maaf, ga usah difikirkan. Wong Cuma usul ga serius kok”. Hibur lek siti ke mas karyo.

“Hehh…,” Mas Karyo mendesah panjang. “Ti, tadi sore aku ketemu sama Budhe Sam”. Lek Siti agak terkejut, setengah takut, tapi ia buru-buru menguasai diri dan keadaan. Seolah tidak faham dengan arah pembicaraan, Lek Siti pun bertantanya, “ memangnya Budhe bilang apa?, panjenengan mau diajak mroyek lagi apa?”. “iya Budhe sempat ngobrol sama aku, tapi bukan masalah proyek”. “tapi beliau bilang kalo kamu mau ke Malaysia lagi, apa benar ti?” untuk sesaat lek siti bungkam bingung akan menjawab. Disatu sisi dia adalah orang yang sangat setia dan lebih suka bercengkrama bersama keluarga. Disisi lain, ia sangat sadar jika suaminya memiliki kesadaran financial yang sangat rendah sehingga mau tidak mau dia harus menjadi penopang utama. Cinta adalah cinta di satu sisi, dan dunia adalah dunia dengan segala kebutuhan pokok juga keinginan-keinginan.

“Mas, aku sebelumnya minta maaf sedalam-dalamnya masalah ini. Karena sebelumnya tidak mendiskusikan dengan panjenengan”. “Iya mas, saya tiga hari lagi harus berangkat ke Malaysia”. “saya juga ngga tau ko jadi secepat ini, soalnya baru tiga hari lalu saya tanya sama Pak Edi”. “bukan apa-apa mas, bukan juga aku ngga tahan hidup miskin”. “dari kecil aku sudah biasa hidup sederhana meski bapak punya sawah yang luas, tapi memang sekarang ini adalah satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh apalagi habis harga BBM naik, meski sudah lama. Kemarin pak Rt juga sudah bagi-bagi kompor gas konversi yang katanya pake gas jika ditotal harganya lebih murah dari minyak tanah, tapi kalo minyak bener-bener dicabut dalam waktu deket, orang-orang seperti kita sudah tidak bisa ngeteng lagi dua ribu ato lima ribu. Kalo tidak pakai jalan ini kita tidak bias apa-apalagi meski sekedar makan”.

“Aku sebenarnya juga tidak nyalahin panjenengan, waktu itu baru emosi saja, aku yakin semua itu sudah diatur sama yang kuasa”. “Mas, dari awal aku selalu ingat janji setia kita. Dari awal aku juga sudah tau banyak perbedaan diantara kita. Tapi mas, aku mau menikah dulu dasarnya adalah cinta bukan yang lain. Ya, aku selalu mencintaimu sampai kapanpun dalam kondisi kita seperti apapun, aku ingin bahtera rumah tangga kita tetap bisa berjalan meski penuh dengan cobaan” suara lek siti tertahan, seluruh dada menjadi sesak. Kata-kata ketulusan cinta akhirnya terlontar dari mulut Lek Siti. Suasana menjadi haru, tidak hanya Lek Siti. Mas Karyo juga mulai sesenggukan mendengar perkataan tulus dari istrinya. Mas karyo mulai menyadari betapa lemahnya dia, bersembunyi dibalik ketulusan cinta seorang Siti yang mulai terjangkit rematik untuk memperjuangkan kelanggengan bahtera cintanya! Kedua-duanya tidak mau dan tidak mampu menahan kesedihan alur kisah cintanya yang telah dilalui belasan tahun. Mereka saling berpelukan menghilangkan semua duka, dan hanya ini yang bisa dilakukan.

“Maafkan aku ti, akulah yang paling bersalah. Aku sungguh tidak berguna”,”aku juga mencintaimu ti, sangat mencintaimu”, sambil terbata-bata Mas Karyo mengakui kesalahan terhadap istrinya. “ Lek Siti mendekap semakin erat suami yang ia cintai, air mata semakin deras tertumpah, ia tidak mampu lagi menahan suara isak tangisnya. “aku tidak menyalahkanmu mas, aku tidak menyalahkanmu….” “ini juga takdir dari yang kuasa, tapi aku yakin kita pasti bisa melalui nya”. “Baiklah mulai besok aku akan berusaha, apapun akan aku lakukan”. Janji mas karyo ke lek siti.

Tek..tek..tek.. suara titik air hujan yang menimpa ember masih terdengar meski dengan intensitas yang menurun. Malam, yang sangat indah bagi Lek Siti. Sebuah kebahagiaan yang lebih dari apapun setelah menabur ketulusan cinta bertahun-tahun. Ketulusan yang tidak memintakan imbalan dan tidak terbataskan oleh waktu.

Tapi walau bagaimanapun, lek siti tetap harus berangkat ke Malaysia. Kontrak telah ditandatangani, ia tidak sanggup membatalkannya apalagi dengan ganti rugi yang puluhan juta itu.

################################

Empat Hal Yang Membuat Manusia Mudah Diganggu Jin

Jin sangat mudah masuk kedalam tubuh manusia yang mempunyai perangai sebagai berikut :  Senang Marah-marah Yang Berlebihan Terjeremb...